Catatan Nadeem (Mantan Marbot Masjid)
Alkisah, sekelompok pemuda yang hobby nongkrong tengah bergerombol duduk-duduk di teduhan pinggir jalan besar, di bawah beberapa pohon rindang; ada beringin tua, yang akar-akar serabutnya telah menjuntai; ada talok alias kersen, yang banyak ulat bulunya, jarang sekali berbuah karena dimakan ulat; ada pohon pisang kepok, yang rajin beranak doang, meski tua tapi belum juga berbuah, yang daun-daun lebarnya justru dijadikan tempat kalong dan kampret tidur bergelantungan.
Di belakang tempat tongkrongan mereka, semak belukar rimbun yang menutupi genangan air, seperti kolam, yang ditumbuhi ilalang tinggi, menjadi tempat ideal untuk kodok-kodok menetaskan telur-telur mereka menjadi berudu alias kecebong.
Awalnya, para pemuda yang nongkrong tersebut hanya mengamati dan mengomentari mobil, motor, truk, dan bis dengan atitude seperti Sumber Kencono yang lewat lalu lalang saja. Obrolan hanya seputar kenapa ada mobil nggak kuat nanjak, kenapa motor masih ngawur jalan lewat trotoar tempat mereka duduk dan kongkow, yang membuat mereka misuh-misuh dengan berbagai sumpah serapah, kenapa hampir semua bis dengan berbagai kelas, cara bawanya ugal-ugalan dengan spek sumber kencono.
Obrolan kemudian mengurucut pada beberapa onggok mobil yang terparkir di seberang jalan di depan mereka. Semuanya tampak kotor, dengan beberapa bagian bodi catnya sudah terkelupas dan karatan.
Lebih mudahnya, saya menggambarkan para pemuda nongkrong tersebut dengan inisial alfabet: A-Z.
A: itu kenapa ya, tuh mobil-mobil kok nggak diurusin sama pemiliknya? Ampe teronggok begitu, saking lamanya terparkir, ampe karatan dan bannya pada kempes
B: kayaknya bekas kecelakaan deh. Dari pada ngurusin tar musti pake nebus segala karena jad barang bukti, trus ngebengkelinnya juga mahal, mending dibiarin aja di situ.
C: kecelakaan apaan woyyy! Orang bodinya masih utuh begitu. Ini pasti karena dulu bannya pada kempes terus pada nggak punya ban serep, jadi dibiarkan disitu.
D: iya, masuk akal juga kalau karena bannya kempes, terus yang punya orang luar kota. Mau bawa pulang dereknya mahal, Ampe kelupaan ngga dibawa-bawa. Liat aja plat nomornya, ada yang D, B coret, AD dan lainnya.
E: Halah, ngarang! mana ada cuman gara-gara ban bocor sampai ninggalin mobilnya berbulan-bulan. Itu ban pada kempes karena lama terparkir di situ.
F sampai Z saling bersautan mengomentari, dengan analisa masing-masing.
Semakin lama, analisa-analisa yang disampaikan semakin berkembang, menjalar ke mana-mana. Termasuk menghadirkan opini pengamat ban, praktisi tambal ban, montir, pegawai dealer, pemilik bengkel, hingga menceritakan pengalamannya selama menjadi supir angkot, supir omprengan, kenek metromini, kondektur Kopaja, hingga supir odong-odong. Bahkan pengalaman menjadi penumpang angkot atau naik mobil nebeng kawan maupun tetangganya saat menghadiri kondangan pun ikut disampaikan dengen analisa yang ndakik-ndakik, runcing plus njlimet. Ucapan maupun tulisan tukang tambal ban vulkanisir, mekanik bengkel, calo bis, hingga timer angkot maupun supir tembak pun di sampaikan.Intinya masing-masing ingin memberikan analisa dan informasi ‘A1’, untuk menguatkan argumen mereka, tentu saja.
Yang awalnya bergerombol, satu per satu pemuda itu mulai meninggalkan tempat tongkrongan. Hanya tinggal beberapa orang saja dalam hitungan jari. Mereka menyingkir mungkin mulai bosen atau keberisikan, entah lah.
Justru dengan menyisakan beberapa orang pemuda saja, obrolan di tempat tongkrongan itu semakin intens, ngotot dan seru. Semakin mengurucut lagi memperdebatkan ban kempes. Berhari-hari, bahkan sampai larut malam. Debatnya dilembur. Dan mulai debat lagi sejak pagi buta. Seolah tanpa lelah memperdebatkan ban kempes.
Si N, keukeuh dengan pandangannya bahwa ban kempes itu disebabkan karena cop pentil, bukan karena paku. Ia berargumen bahwa tukang tambal vulkanisir pinggir jalan telah tobat nyebarin paku. Sementara P dan S, tetep ngotot bahwa ban kempes itu selalu disebabkan oleh paku, yang sengaja disebar oknum vulkanisir pinggir jalan. Si C sesekali ikut nimbrung dengan komentarnya, sementara si A lebih asik dengan analisisnya panjang-panjang. Ada juga sih si D yang bisanya cuman sar-ser pendapatnya tukang tambal ban doang.
N: tukang tambel ban dan vulkanisir udah tobat! udah gak nyebar paku lagi. Aku tau sendiri, mereka udah dikasih pembinaan, gak mau lagi nyebar paku. Aku tuh dapet informasi A1 tuh vulkanisir dimanfaatin pabrik cop pentil dan ban dalem, kalau ada kesalahan dari pabrik biar tukang tambel ban dan vulkanisir. Nih, mereka tuh dah pada sadar, dan gak mau lagi jadi distributor cop pentil dan ban dalem nakal itu.
P: eeaaaaa… Sekarang nyebut kang tambel ban dan vulkanisir tobat..wkwkwkk.. gak inget apa waktu dorong motor, kena ranjau paku, terus suruh ganti ban dalem dengan harga selangit ma tukang tambel ban yang bilang bannya udah gak bisa ditambel lagi..wkwkkk..
S: mana ada tukang tambel ban ma vulkanisir tobat! Orang cari makannya di situ. Dan itu sebagai penanda wilayah kekuasaan mereka. Sadar apa mas, kalau pabrik cop pentil dan dan ban dalem itu ada quality control-nya, yang menyortir hasil produksinya sebelum dilempar ke pasar. Jangan udah dapet cipratan uang marketing nih dari persatuan tambel ban dan vulkanisir
N: sak karepmu! Aku tuh ngomong sesuai dengan pengalaman, analisa dan pengamatan ku.
P: eeeaaaaa… Ampe segitunya belain tukang tambel ban, sampe bilang dah tobat. Emang yang nambel ban motor ente siapa? Pabrik cop pentil dan ban dalem? Emang yang nyuruh ganti ban dalem ente abis dorong motor jauh-jauh dengan harga selangit siapa? Pabrik ban dalem? Mikir dong! Semua keputusan urusan ban bocor dan kempes itu ada di tangan tukang tambel ban.
Perdebatan pun semakin panas. Sudah mulai saling tunjuk muka dan kepala. Ketiganya sudah meninggikan suara. Urat-urat di leher dan di jidat sudah pada menonjol. Pertengkaran pun tak terhindarkan. Meski tak sampai terjadi adu pukul.
U, pemilik Lapo yang tak jauh dari tempat tongkrongan itu pun mulai nggak sabar dengar perdebatan tersebut. Dari depan pintu laponya, dengan setengah berteriak ia pun mengingatkan
U: klen ini apa rupanya, heh! Berdebat sampai lembur-lembur pula. Tak asem mulut klem tuh. Mana tak pesan kopi dan jajan di lapoku pula.
Kau pula itu P, sama orang tua tak elok lah kau ngotot-ngotot seperti apa itu. Sebagai pecinta road race tak pula suara kau sekencang kenalpotnya. Yang kalok digas yang apa, dah kayak apa itu.
P: diiiihh… Apaan sih; Pake bawa-bawa road race ma kenalpotnya segala. Katanya Egaliter.
Dah aah, gak asik udah tongkrongan ini. Gue cabut aja.
P pun ngacir pergi meninggalkan tempat tongkrongan dengan hati dongkol. Sementara si S masih lanjutin argumennya dengan si N, dengan kondisi agak cooling down setelah melihat P pergi, sambil keduanya melihat P berjalan menjauh dengan tangan mengepal dan muka bersungut-sungut.
Dari dalam kedai pempek, si C sang pemilik kedai yang terkenal galak dan judes, meski orangnya sebenarnya sangat baik dan murah hati. Tapi emang casingnya nampak begitu, ikut bersuara menimpali.
C: pergi kau sana. Tak pacak kau nongkrong di situ tak jajan pempek di kedaiku.
Sungguh ironis, si S dan P yang selalu berkeinginan dan berkepentingan agar tempat tongkrongan itu selalu ramai, agar ada yang nemenin sambil berharap ada lemparan bungkus korek dan bungkus rokok yang ada selipan duit goceng ma ceban dari mobil bak sayur atau truk pengangkut matrial yang lewat di jalanan depan mereka. Sekarang justru salah satu dari mereka berdua yang pergi, dan berpotensi membuat tempat tongkrongan jadi sepi karena takut didebat masalah ban kempes lagi.
Sementara, di sebuah lapak rongsokan ma barang-barang antik, yang agak jauh dari tempat tongkrongan, di seberang jalan, sebaris dengan onggokan mobil-mobil yang ban kempesnya menjadi pertengkaran para pemuda tersebut, beberapa orang Engkoh-engkoh masih asik menyantap somay dari abang-abang gerobak yang mereka cegat.
Koh A: itu apa lame-lame di sana? Haiyyaaa.. hidup susah penuh pajak begini masih sukanya libut-libut aja.
Kang Somay gerobak: tau tuh koh, pada ributin masalah ban kempes mobil-mobil itu tuh
Koh B: haiyaaa.. itu mobil-mobil longsok owe kenapa dilibutin? Itu mobil mau owe kempesin, mau owe gelindingin, mau owe longsokin, itu ulusan owe..
Di atas bale bambu beralas tikar plastik, si F yang baru dua hari bisa ngrokok setelah kena flu batuk pilek, tapi ngakunya sumeng biar dianggap imut kayak bocah, sehingga nggak bisa ikut kumpul dan nimbrung di tempat tongkrongan kembali menyeruput kopi dihadapannya dan menyalakan batang ke sekian rokoknya, sambil membatin.
F: yah, sepi lagi deh gak ada yang berantem. Gak seru. Baru juga rame debatnya. Jadi gak indah lagi tongkrongan.
Oh, indahnya pertengankaran karena pemilu, eh pilkada, eh ban kempes.
Salah-salah Mulu nih mulut ngomongnya ah.. []