Inilahkita.com | Kian hari fenomena bullying semakin marak terjadi, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Fenomena tersebut akan kita katakan lumrah apabila terjadi di zaman jahiliyah, karena manusia pada kala itu belum diberikan Pendidikan berupa moral dan akhalak yang sempurna. Namun jika kita memandang fenomena tersebut lebih marak terjadi dan menimbulkan perkara yang lebih serius di zaman yang dikatakan lebih maju saat ini apakah hal tersebut akan dianggap lumrah oleh kita? Dan apakah kemajuan teknologi dan informasi justru membuat kemanusiaan manusia Kembali ke zaman kebodohan?
Dalam membenahi kasus ini manusia perlu untuk dididik dan ditempa agar mencerminkan nilai kemanusiaan kepada sesama. Maka dalam mewujudkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana nilai sila ke-2 dalam Pancasila, Lembaga Pendidikan berperan penting didalamnya dalam membentuk karakter penerus bangsa yang berkualitas dan memiliki moralitas.
Namun sangat disayangkan apabila kita melihat fenomena akhir-akhir ini mengenai marak nya kasus perundungan (Bullying) di Lembaga Pendidikan. Sebagaimana kasus yang dapat kita saksikan di media sosial yang kita gunakan sehari-hari marak nya kasus perundungan dilingkungan Pendidikan menciptakan teror dan ancaman yang sangat krusial diantaranya seperti peledakan Bom rakitan di SMAN 72 Jakarta dan pembakaran ponpes Babul Maghfirah di Aceh.
Kasus yang kita saksikan itu adalah buah hasil dari lingkungan yang menciptakan karakter moster tersebut, yakni perundungan (Bullying). Kita tidak melihat apa latar belakang mereka dibully oleh para pelaku, namun Tindakan bullying terhadap korban juga tidak bisa kita benarkan, karena ketika kita membenci seseorang karena berbeda pandangannya dengan kita dan alih-alih kita memberikan bantahan secara data dan fakta/dalil justru kita membalas nya dengan ejekan, maka dalam hal tersebut kita justru telah masuk ke ranah kesesatan dalam berpikir (Logical Fallacy) yaitu Appeal To Ridicule ( Ajakan untuk mengejek).
Lantas dalam kasus ini bagaimana perundungan Bullying telah menjadi masalah masif yang menyebar di berbagai institusi Pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini? Dalam menyikapi permasalahan ini saya mencoba untuk menggeneralisasikan bagaimana penyebab atau faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kasus perundungan di berbagai institusi Pendidikan, diantaranya:
- Kurangnya Empati terhadap sesama teman. kurangnya rasa saling menghormati dan saling menghargai sesama, melahirkan ketidak nyamanan dalam bercengkrama. Alih-alih bercengkrama dengan teman dapat membuat diri kita merasa nyaman, justru membuat diri kita menjadi tertekan. Faktor ini terus mengakar kuat di lingkungan manapun di indonesia, dengan dalih awal yang disebut sebagi “hanya sebuah candaan”.
- Pengaruh media sosial. Sudah bukan hal yang sulit untuk kita melihat anak-anak di usia dini yang telah diberikan gadget, sehingga anak-anak dapat mengakses media sosial tanpa filter, dan dampaknya adalah anak-anak tidak bisa memilah dan memilih konten yang baik untuk mereka konsumsi tanpa pengawasan dan peran orang tua ataupun orang terdekatnya. Karena anak-anak di usia dini cenderung mengikuti sesuatu yang mereka anggap “keren, viral, sensasional, dan sebagainya” tanpa mengetahui hal tersebut baik atau buruk untuk mereka contoh dan amalkan dalam lingkungannya.
- Lingkungan Pendidikan Yang Toxic. Bukan lagi rahasia umum bahwa tindak bullying kerap terjadi dalam dunia pendidikan. Lembaga yang seharusnya mendidik dan menempa moral anak yang lebih sehat, justru membiarkan tindakan bullying yang sesat dengan dalih candaan yang sesaat. Dan dengan dikolaborasikan 2 poin di atas, membuat pelaku tindak bullying semakin tidak bermoral apabila tindakannya diwajarkan dan dianggap normal.
- Kurangnya pemberian sanksi (punishment) untuk para pelaku bullying. Dengan rasa empati yang kurang dari dari sesama anak didik, dan dengan terbiasanya anak-anak hidup dalam lingkungan yang toxic membuat penyebarannya akan semakin meluas jika terus-terusan dibiarkan tanpa adanya sanksi yang tegas. Dan tentunya sanksi yang diberikan juga harus bersifat mendidik karakter anak, bukan malah memberikan rasa trauma kepada semua anak didik. Sehingga kita melahirkan tempat pendidikan yang aman dan nyaman, bukan malah menjadikan tempat yang menciptakan ancaman bagi kebebasan hak untuk hidup, hak untuk dihargai, dan hak untuk dilindungi bagi anak didik kita dimanapun mereka berada.
Indonesia terdiri dari berbagai usnsur budaya, suku, ras dan agama. Namun entah bagaimana kian hari masyarakat dapat bersetereotip mengenai tentang pandangan itu, memandang kesalahan dan kekurangan seseorang dikarenakan suku dan ras yang berbeda.[]
