By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Inilah KitaInilah KitaInilah Kita
  • Home
  • Sekitar Kita
  • DialeKita
  • Nusantara
  • Akademika
  • Komunitas
  • Generasi
  • Kiat Kita
Reading: Pemburu Rente Pembajak Demokrasi
Share
Notification Show More
Font ResizerAa
Inilah KitaInilah Kita
Font ResizerAa
  • Home
  • Sekitar Kita
  • DialeKita
  • Nusantara
  • Akademika
  • Komunitas
  • Generasi
  • Kiat Kita
Follow US
  • Advertise
© 2024 Inilah Kita
Inilah Kita > Blog > DialeKita > Pemburu Rente Pembajak Demokrasi
DialeKita

Pemburu Rente Pembajak Demokrasi

Redaksi Kita
Redaksi Kita Published 31/12/2024
Share
rente demokrasi
SHARE

Catatan Cak AT

Tak bosan kita bicara demokrasi. Ya, demokrasi! Sistem yang digadang-gadang memberi kebebasan kepada rakyat untuk memilih pemimpin, menikmati hak-hak dasar, dan berharap pada pemerintahan yang adil. Kita yang tahu banyak yang tak beres di sana, seolah tak berdaya dan pada akhirnya kita seperti harus pasrah menerima.

Setelah istirahat sejenak di balik panggung megah pesta demokrasi, kita tersadar ada kelompok yang lihai menyulap suara rakyat menjadi tambang emas. Desi Rahmawati, lewat bukunya Demokrasi dalam Genggaman Para Pemburu Rente, membongkar praktik ini dengan kejelian seorang detektif dan ketajaman analisis seorang akademisi.

Apa sebenarnya perburuan rente itu? Jika korupsi adalah mencuri barang milik publik secara ilegal, perburuan rente lebih dari itu, adalah seni mengemas pencurian itu agar tampak legal. Jahatnya berlipat. Praktik ini bisa berupa lobi politik, monopoli pasar, hingga manipulasi regulasi. Anda tahu para aktor yang lihai bermain di ladang ini.

Misalnya, dia bisa seorang politisi yang tidak mencuri langsung dari APBN tetapi cukup pintar melobi agar aturan diubah untuk kepentingannya. Atau, dia bisa seorang pemain proyek yang tahu celah memperoleh lahan tambang melalui cara kongkalikong. Hasilnya? Keuntungan miliaran rupiah dengan stempel “sah menurut hukum.”

Dalam penelitian Desi di Kabupaten Asahan, praktik perburuan rente ini bukan lagi rahasia. Para pemburu rente memainkan peran ganda: mereka adalah politisi, pengusaha, bahkan aktivis antikorupsi. Ya, aktivis pun kini tak boleh dipandang murni seolah memperjuangkan nasib rakyat, walaupun tampak sebagai aktivis antikorupsi.

Desi menciptakan istilah “aktivisme pemerasan” untuk menggambarkan fenomena di mana aktivis mendekati pejabat korup bukan untuk mengungkap kejahatan, tetapi untuk menegosiasikan harga diam mereka. Ironisnya, peran ini digambarkan Olle Törnquist di kata pengantar buku Desi lebih menyerupai Robin Hood tanpa misi sosial.

Apa yang membuat praktik ini begitu subur? Kapitalisme ala Indonesia, yang seharusnya mendewakan efisiensi dan persaingan bebas, justru menjadi lahan basah bagi para pemburu rente. Kapitalisme kita lebih menyerupai bazar pasar malam dibandingkan arena kompetisi yang adil. Pemain besar lebih memilih menciptakan monopoli daripada bersaing secara sehat.

Yang membuat analisis Desi istimewa adalah caranya memadukan teori Pierre Bourdieu dengan pendekatan struktural ala Vedi Hadiz. Ia menekankan bahwa perilaku pemburu rente ini bukan hanya ulah individu, tetapi produk dari habitus —pola pikir dan kebiasaan yang tumbuh subur dalam sistem yang memanjakan rente.

Masalahnya bukan sekadar pada pelaku, tetapi pada sistem yang memang dirancang untuk memfasilitasi praktik ini. Kita tahu, berapa undang-undang yang diciptakan untuk keuntungan para pemburu rente. Kita tahu betapa hukum jadi permainan para elite, termasuk presiden sendiri, untuk kepentingan politis keluarga mereka.

Generasi baru pemburu rente, yang lebih modern dan progresif secara tampilan, kini memainkan peran dominan. Mereka mendirikan organisasi yang kerap berlindung di balik jargon reformasi. Perburuan rente tidak lagi terbatas pada koneksi lama, tetapi juga memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk mengokohkan pengaruh mereka.

Hingga penghujung 2024 ini, enam tahun setelah buku Desi terbit pada 2018, apa yang berubah? Jika kita melihat Indonesia pada Pemilu 2024, jawabannya justru mengecewakan.

Demokrasi kita semakin tersandera oleh politik biaya tinggi. Kandidat politik, baik di tingkat daerah maupun nasional, sering kali bergantung pada jaringan rente untuk membiayai kampanye mereka. Akibatnya, setelah terpilih, mereka harus “membayar utang” kepada penyandang dana yang mengoperasikan sistem di belakang layar.

Kemajuan teknologi informasi justru memperparah situasi. Media sosial dan big data, yang mestinya menjadi alat pemberdayaan rakyat, kini menjadi senjata bagi para pemburu rente untuk memanipulasi opini publik. Mereka mengerahkan para buzzer untuk memoles pencitraan yang akan memuluskan langkah mereka.

Dalam sektor regulasi, kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu sering kali dibuat dengan mengorbankan kepentingan publik. Misalnya, konsesi tambang dan izin lahan yang diberikan tanpa transparansi, menghasilkan keuntungan besar bagi segelintir elite, tetapi meninggalkan kerusakan lingkungan yang tak ternilai.

Yang lebih mengkhawatirkan, institusi-institusi demokrasi justru semakin melemah. Kasus pelemahan KPK dan kriminalisasi aktivis yang kritis terhadap pemerintah menjadi bukti nyata bahwa ruang untuk mengungkap praktik rente semakin menyempit. Para pelaku rente semakin merasa aman dalam menjalankan aksi mereka.

Pemikiran Desi tetap relevan, bahkan semakin penting sebagai pengingat. Karyanya bukan hanya sekadar kajian akademis, tetapi panggilan untuk menyelamatkan demokrasi yang kian terperosok. Tanpa reformasi nyata, cita-cita demokrasi yang adil dan inklusif hanya akan menjadi utopia. Rakyat akan terus menjadi penonton dalam permainan yang tidak pernah berpihak kepada mereka.

Pada akhirnya, demokrasi yang sehat membutuhkan lebih dari sekadar regulasi atau slogan antikorupsi. Kita perlu mengubah habitus —cara berpikir dan bertindak yang sudah mendarah daging di kalangan elite kita. Jika tidak, demokrasi kita hanya akan menjadi panggung sandiwara yang penuh ilusi.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 31/12/2024

TAGGED:pemburu demokrasirente demokrasi
Share This Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp LinkedIn Telegram Email
What do you think?
Love0
Sad0
Happy0
Sleepy0
Angry0
Dead0
Wink0
Previous Article Studi Kasus: Strategi Menghadapi Risiko dengan Metode Hedging
Next Article IPB Serahkan Bantuan untuk Korban Bencana Sukabumi Melalui ARM HA-IPB

Latest News

Karena 'Flourish', Kita Jadi Juara Dunia!
Karena ‘Flourish’, Kita Jadi Juara Dunia!
DialeKita
noto susanto
Risiko Pintu Menuju Kesuksesan?
DialeKita
sekolah gratis
Akhirnya, Sekolah Gratis Sepenuhnya
DialeKita
qurban izi
Bukan Qurban Biasa: IZI Hadirkan Olahan Siap Saji untuk Negeri dan Dunia
Komunitas
Matahari Kembar
DialeKita
izi jakarta
LAZNAS IZI Resmikan Kaidah Kepatuhan Syariah Revisi 03: Standar Baru Tata Kelola Dana Umat
Komunitas
Peran Baru Jurnalis, Melatih AI Menulis Berita
Peran Baru Jurnalis, Melatih AI Menulis Berita
DialeKita

Baca Artikel Lain

DialeKita

Baterai Nuklir Lipat, Energi Menjanjikan Masa Depan

05/05/2025
DialeKita

Suami Takut Istri, Kok Bisa?

11/04/2025
DialeKita

Lebaran Manis

02/04/2025
DialeKita

Selamat Mudik, Selamat Berlebaran Bersama Keluarga

29/03/2025
Previous Next

Ikon Logo Inilah Kita

Kategori

  • Akademika
  • DialeKita
  • Generasi
  • Kesehatan
  • Kiat Kita
  • Komunitas
  • Nusantara
  • Sekitar Kita
  • Uncategorized

Inilah Kita

  • About
  • Kontak
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Media
  • Term & Condition
Inilah KitaInilah Kita
©2024 Inilah Kita
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?