Oleh: Nadeem
(Kolumnis, Pengamat Obrolan Bapak-bapak)
Pada suatu kesempatan, teman-teman kantor, kala itu, berencana jalan-jalan ke lokasi asik buat ngopi. Rekreasi atau piknik kata orang dahulu. Healing kata anak sekarang.
Teman-teman kantor yang berencana jalan-jalan, semuanya laki-laki, dan sudah menikah. Ketika ngobrol dalam rapat kecil di kantin kantor, salah seorang teman diminta untuk membawa mobilnya untuk acara tersebut. Ia tidak lantas mengiyakan.
“Bentar, gue tanya istri gue dulu.” sambil berdiri lalu berjalan menjauh dari lingkaran rapat kecil kami, untuk menelpon istrinya.
Beberapa teman yang ikut nimbrung dalam rapat kecil tertawa. Ada juga kawan yang berceloteh, “dia takut istri!, itu mobil punya istrinya”. Ada yang menimpali, “duit bensin ma ganti oli masih minta bini“. Keduanya berucap sambil tertawa.
Jujur, sebagai laki-laki yang telah menikah lama meski belum menjadi bapak, perihal ‘takut istri’ ini merupakan lelucon yang digemari di lingkungan patriarkal. Mengetahui ada seorang lelaki yang kedapatan melakukan hal-hal seperti di atas, atau kedapatan berbelanja di pasar, menjemur pakaian, mencuci piring dan gelas, dan lebih ekstremnya saat berbicara di keluarga atau circle pertemanan tetangga kompleks kemudian pendapatnya dibantah istrinya di depan orang lain, bahkan hal sepele seperti pulang cepat saat nongkrong bareng teman lelaki, pasti akan menjadi bahan pergunjingan yang disukai dan ditertawakan. Kemudian disematkan label ‘takut istri’ pada lelaki tersebut.
Saya sendiri tidak mengerti, mengapa banyak lelaki begitu angkuh menghukumi saat seorang suami menjadikan istrinya sebagai partner dalam rumah tangga kala berbagi tugas dan pekerjaan rumah tangga, sehingga kemudian mereka melabelinya dengan takut istri atau suami cemen. Mengingat saya sendiri melakukan hal-hal seperti itu.
Dalam pandangan filosofisnya, Socrates pernah menyebut, pernikahan –kemudian berumah tangga– adalah kehidupan yang paling penting untuk dipelajari. Tidak hanya sebagai ikatan sosial, pernikahan juga sebagai ruang bagi individu untuk berkembang, belajar, dan beradaptasi.
Iya, beradaptasi. Itu poin pentingnya.
Di mana sebelumnya, dua individu, dengan karakter, sifat dan ego masing-masing, dalam kehidupan mereka sebelumnya, harus bersatu mencari kompromi atas sifat, karakter dan ego keduanya untuk kemudian menyamakan persepsi dan pemahaman dalam tujuan berumah tangga. Tentu akan bertabrakan awalnya. Untuk kemudian saling beradaptasi dan memahami masing-masing.
“Menikahlah, karena jika kamu menemukan istri yang baik, kamu akan bahagia. Jika tidak, kamu akan menjadi filsuf.” Ini ucapan Socrates yang paling dikenal oleh para lelaki, di seluruh dunia. Di mana, pernikahan akan menguak seluruh sifat asli pasangan dan menampilkan secara jujur karakternya, termasuk ego-ego yang dimiliki, yang sebelumnya disamarkan dengan sangat rapi saat sebelum menikah.
Seperti kita tahu, Kita tidak pernah memiliki budaya misoginis. Di mayoritas budaya Indonesia, biasanya, perempuan menempati peran subordinat dalam pekerjaan rumah tangga, khususnya melayani suami dan merawat anak-anaknya.
Kondisi ini, sebenarnya, memiliki akar historis dalam praktik kolonial ketika perempuan Eropa –terutama perempuan Belanda– membawa tradisi mereka sebagai ibu dan istri dalam konsep borjuis yang mengutamakan kegiatan domestik dalam pengelolaan rumah tangga ketika mereka mengikuti suami ke tanah jajahan (Hartley, 2006: 222).
Kondisi ini berubah ketika wacana emansipatif memberi perempuan kesempatan untuk berpartisipasi dalam ranah publik seperti tenaga kerja dalam karir profesional tanpa melupakan tanggung jawab utama dalam kegiatan rumah tangga.
Meskipun gerakan emansipasi selalu menjadi wacana utama pada zaman ini, namun banyak perempuan justru lebih menikmati fungsi dan peran mereka sebagai istri dan ibu yang memiliki kekuatan dominan dalam mengendalikan dan mengelola anggota rumah tangga, termasuk suami dan anak-anak mereka.
Dan, di sinilah kemudian muncul dominasi mereka, para perempuan. Dominasi para istri, atas suami. Dominasi ibu, atas anak-anaknya. Yang keduanya ia kelola dengan sepenuh hati, seluruh waktu dan energi yang dimiliki, serta seluruh cinta yang ia berikan.
Hal-hal yang bersifat keteraturan, kedisiplinan, ketepatan, dan pola hidup yang detail yang diterapkan oleh perempuan dalam mengelola dan mengendalikan rumah tangga beserta anggotanya menjadi sebuah aturan tak tertulis yang ia terapkan bagi dirinya sendiri, dan ‘undang-undang’ yang tak teramandemen bagi anggota keluarga: suami beserta anak-anaknya, dalam seluruh aktivitas kehidupan mereka, juga spektrum kegiatan yang bersentuhan dengan kehidupan rumah tangga mereka. Termasuk pekerjaan suami, sekolah anak, dan teman-teman suami juga anaknya.
Sedikit anda melanggar ‘aturan’ dan ‘undang-undang’ tersebut. Anda, wahai para suami, dan anak-anaknya, akan betul-betul merasakan akibat beserta dampaknya yang signifikan. Percayalah, the power of emak-emak is real and the verbal storm of istri is true, bro!
Perubahan seorang laki-laki, baik teman, sahabat, kerabat, maupun kolega kita, dari sifat, sikap, maupun ucapannya setelah menikah, sebenarnya membuat kita bisa tahu gambarannya, seperti apa istri atau pasangan mereka. Apakah kawan, sahabat kita tersebut selalu tampak ceria, mudah tertawa, easy going. Atau sebaliknya, lebih pendiam, selalu serius, dan selalu tampak bijak bahkan filosofis saat berucap.
Dari gambaran itu pula akhirnya kita bisa mengetahu seperti apa sebenarnya istri Socrates dahulu kala, yang bahkan ia gambarkan secara jelas melalui ucapannya sendiri.
Melalui ucapan itu pula akhirnya saya menduga-duga, jangan-jangan Socrates ini sebenarnya adalah bapak dari para suami takut istri di seluruh dunia?