By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Inilah KitaInilah KitaInilah Kita
  • Home
  • Sekitar Kita
  • DialeKita
  • Nusantara
  • Akademika
  • Komunitas
  • Generasi
  • Kiat Kita
Reading: Suami Takut Istri, Kok Bisa?
Share
Notification Show More
Font ResizerAa
Inilah KitaInilah Kita
Font ResizerAa
  • Home
  • Sekitar Kita
  • DialeKita
  • Nusantara
  • Akademika
  • Komunitas
  • Generasi
  • Kiat Kita
Follow US
  • Advertise
© 2024 Inilah Kita
Inilah Kita > Blog > DialeKita > Suami Takut Istri, Kok Bisa?
DialeKita

Suami Takut Istri, Kok Bisa?

Redaksi
Redaksi Published 11/04/2025
Share
SHARE

Oleh: Nadeem
(Kolumnis, Pengamat Obrolan Bapak-bapak)

Pada suatu kesempatan, teman-teman kantor, kala itu, berencana jalan-jalan ke lokasi asik buat ngopi. Rekreasi atau piknik kata orang dahulu. Healing kata anak sekarang.

Teman-teman kantor yang berencana jalan-jalan, semuanya laki-laki, dan sudah menikah. Ketika ngobrol dalam rapat kecil di kantin kantor, salah seorang teman diminta untuk membawa mobilnya untuk acara tersebut. Ia tidak lantas mengiyakan.

“Bentar, gue tanya istri gue dulu.” sambil berdiri lalu berjalan menjauh dari lingkaran rapat kecil kami, untuk menelpon istrinya.

Beberapa teman yang ikut nimbrung dalam rapat kecil tertawa. Ada juga kawan yang berceloteh, “dia takut istri!, itu mobil punya istrinya”. Ada yang menimpali, “duit bensin ma ganti oli masih minta bini“. Keduanya berucap sambil tertawa.

Jujur, sebagai laki-laki yang telah menikah lama meski belum menjadi bapak, perihal ‘takut istri’ ini merupakan lelucon yang digemari di lingkungan patriarkal. Mengetahui ada seorang lelaki yang kedapatan melakukan hal-hal seperti di atas, atau kedapatan berbelanja di pasar, menjemur pakaian, mencuci piring dan gelas, dan lebih ekstremnya saat berbicara di keluarga atau circle pertemanan tetangga kompleks kemudian pendapatnya dibantah istrinya di depan orang lain, bahkan hal sepele seperti pulang cepat saat nongkrong bareng teman lelaki, pasti akan menjadi bahan pergunjingan yang disukai dan ditertawakan. Kemudian disematkan label ‘takut istri’ pada lelaki tersebut.

Saya sendiri tidak mengerti, mengapa banyak lelaki begitu angkuh menghukumi saat seorang suami menjadikan istrinya sebagai partner dalam rumah tangga kala berbagi tugas dan pekerjaan rumah tangga, sehingga kemudian mereka melabelinya dengan takut istri atau suami cemen. Mengingat saya sendiri melakukan hal-hal seperti itu.

Dalam pandangan filosofisnya, Socrates pernah menyebut, pernikahan –kemudian berumah tangga– adalah kehidupan yang paling penting untuk dipelajari. Tidak hanya sebagai ikatan sosial, pernikahan juga sebagai ruang bagi individu untuk berkembang, belajar, dan beradaptasi.

Iya, beradaptasi. Itu poin pentingnya.

Di mana sebelumnya, dua individu, dengan karakter, sifat dan ego masing-masing, dalam kehidupan mereka sebelumnya, harus bersatu mencari kompromi atas sifat, karakter dan ego keduanya untuk kemudian menyamakan persepsi dan pemahaman dalam tujuan berumah tangga. Tentu akan bertabrakan awalnya. Untuk kemudian saling beradaptasi dan memahami masing-masing.

“Menikahlah, karena jika kamu menemukan istri yang baik, kamu akan bahagia. Jika tidak, kamu akan menjadi filsuf.” Ini ucapan Socrates yang paling dikenal oleh para lelaki, di seluruh dunia. Di mana, pernikahan akan menguak seluruh sifat asli pasangan dan menampilkan secara jujur karakternya, termasuk ego-ego yang dimiliki, yang sebelumnya disamarkan dengan sangat rapi saat sebelum menikah.

Seperti kita tahu, Kita tidak pernah memiliki budaya misoginis. Di mayoritas budaya Indonesia, biasanya, perempuan menempati peran subordinat dalam pekerjaan rumah tangga, khususnya melayani suami dan merawat anak-anaknya.

Kondisi ini, sebenarnya, memiliki akar historis dalam praktik kolonial ketika perempuan Eropa –terutama perempuan Belanda– membawa tradisi mereka sebagai ibu dan istri dalam konsep borjuis yang mengutamakan kegiatan domestik dalam pengelolaan rumah tangga ketika mereka mengikuti suami ke tanah jajahan (Hartley, 2006: 222).

Kondisi ini berubah ketika wacana emansipatif memberi perempuan kesempatan untuk berpartisipasi dalam ranah publik seperti tenaga kerja dalam karir profesional tanpa melupakan tanggung jawab utama dalam kegiatan rumah tangga.

Meskipun gerakan emansipasi selalu menjadi wacana utama pada zaman ini, namun banyak perempuan justru lebih menikmati fungsi dan peran mereka sebagai istri dan ibu yang memiliki kekuatan dominan dalam mengendalikan dan mengelola anggota rumah tangga, termasuk suami dan anak-anak mereka.

Dan, di sinilah kemudian muncul dominasi mereka, para perempuan. Dominasi para istri, atas suami. Dominasi ibu, atas anak-anaknya. Yang keduanya ia kelola dengan sepenuh hati, seluruh waktu dan energi yang dimiliki, serta seluruh cinta yang ia berikan.

Hal-hal yang bersifat keteraturan, kedisiplinan, ketepatan, dan pola hidup yang detail yang diterapkan oleh perempuan dalam mengelola dan mengendalikan rumah tangga beserta anggotanya menjadi sebuah aturan tak tertulis yang ia terapkan bagi dirinya sendiri, dan ‘undang-undang’ yang tak teramandemen bagi anggota keluarga: suami beserta anak-anaknya, dalam seluruh aktivitas kehidupan mereka, juga spektrum kegiatan yang bersentuhan dengan kehidupan rumah tangga mereka. Termasuk pekerjaan suami, sekolah anak, dan teman-teman suami juga anaknya.

Sedikit anda melanggar ‘aturan’ dan ‘undang-undang’ tersebut. Anda, wahai para suami, dan anak-anaknya, akan betul-betul merasakan akibat beserta dampaknya yang signifikan. Percayalah, the power of emak-emak is real and the verbal storm of istri is true, bro!

Perubahan seorang laki-laki, baik teman, sahabat, kerabat, maupun kolega kita, dari sifat, sikap, maupun ucapannya setelah menikah, sebenarnya membuat kita bisa tahu gambarannya, seperti apa istri atau pasangan mereka. Apakah kawan, sahabat kita tersebut selalu tampak ceria, mudah tertawa, easy going. Atau sebaliknya, lebih pendiam, selalu serius, dan selalu tampak bijak bahkan filosofis saat berucap.

Dari gambaran itu pula akhirnya kita bisa mengetahu seperti apa sebenarnya istri Socrates dahulu kala, yang bahkan ia gambarkan secara jelas melalui ucapannya sendiri.

Melalui ucapan itu pula akhirnya saya menduga-duga, jangan-jangan Socrates ini sebenarnya adalah bapak dari para suami takut istri di seluruh dunia?

TAGGED:Omelan istriSuami takut istri
Share This Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp LinkedIn Telegram Email
What do you think?
Love1
Sad0
Happy0
Sleepy0
Angry0
Dead0
Wink0
Previous Article Lebaran Manis
Next Article izi jakarta Kabar Gembira! IZI Dapat Izin Resmi Lembaga Amil Zakat dari Pemprov DKI

Latest News

Karena 'Flourish', Kita Jadi Juara Dunia!
Karena ‘Flourish’, Kita Jadi Juara Dunia!
DialeKita
noto susanto
Risiko Pintu Menuju Kesuksesan?
DialeKita
sekolah gratis
Akhirnya, Sekolah Gratis Sepenuhnya
DialeKita
qurban izi
Bukan Qurban Biasa: IZI Hadirkan Olahan Siap Saji untuk Negeri dan Dunia
Komunitas
Matahari Kembar
DialeKita
izi jakarta
LAZNAS IZI Resmikan Kaidah Kepatuhan Syariah Revisi 03: Standar Baru Tata Kelola Dana Umat
Komunitas
Peran Baru Jurnalis, Melatih AI Menulis Berita
Peran Baru Jurnalis, Melatih AI Menulis Berita
DialeKita

Baca Artikel Lain

DialeKita

Baterai Nuklir Lipat, Energi Menjanjikan Masa Depan

05/05/2025
DialeKita

Lebaran Manis

02/04/2025
DialeKita

Selamat Mudik, Selamat Berlebaran Bersama Keluarga

29/03/2025
DialeKita

Kritik Atas Pidato “Omon-Omon” Prabowo

11/02/2025
Previous Next

Ikon Logo Inilah Kita

Kategori

  • Akademika
  • DialeKita
  • Generasi
  • Kesehatan
  • Kiat Kita
  • Komunitas
  • Nusantara
  • Sekitar Kita
  • Uncategorized

Inilah Kita

  • About
  • Kontak
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Media
  • Term & Condition
Inilah KitaInilah Kita
©2024 Inilah Kita
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?