Inilahkita.com | Di era digital saat ini, nongkrong telah menjadi aspek penting dalam kehidupan anak-anak. Dari kedai kopi, warung kopi kekinian, hingga pusat jajanan mal, setiap lokasi menawarkan banyak hal. Aktivitas ini bukan sekadar aktivitas makan atau aktivitas minimal,, tetapi juga berfungsi sebagai alat terapi, cara untuk mengikuti berita terbaru di internet, dan bahkan cara untuk memeriksa linimasa Instagram. Namun, setelah kebiasaan ini, muncul fenomena luar biasa, anak-anak lebih mudah menukar uang untuk nongkrong daripada menabung.
Fenomena ini bukan sekadar asumsi. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2023, tingkat literasi Gen Z dan Milenial di Indonesia saat ini mencapai 49,68%, sementara tingkat literasi keuangan sudah mencapai 85,10%. Dengan kata lain, meskipun seorang anak memiliki akses mudah terhadap uang, kemampuan mereka untuk mengelolanya masih belum terlalu tinggi. Hal ini terjadi selama kebiasaan nongkrong boros, namun menjadi masalah Ketika diminta menyisihkan uang untuk menabung.
Jika dicermati lebih lanjut, gaya hidup nongkrong ini sebenarnya positif. Seorang anak dapat dengan mudah mengatasi stres, menanggung kesulitan, dan bahkan memunculkan ide-ide kreatif. Namun, masalah muncul ketika nongkrong dilakukan secara sering dan tanpa kendali. Menurut survei Katadata Insight Center (2024), rata-rata anak yang tinggal di kota besar dapat merogooooh kocek antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta per bulan, tetapi hanya untuk nongkrong. Jika angka ini dihitung, niscaya dapat menjadi tabungan masa depan yang besar.
Dalam kasus lain, menabung dianggap “membosankan” karena hasilnya tidak langsung. Dukungan emosional dan sosial diperoleh dari nongkrong yang dilakukan secara diam-diam. Hal ini berkaitan dengan fenomena Fear Of Missing Out (FOMO), di mana anak-anak mudah merasa kesal atau sedih jika tidak berpartisipasi dalam kegiatan nongkrong. Menurut psikologi sosial, FOMO memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap gaya hidup.
Namun, bukan berarti anak muda tidak peduli dengan masa depan. Banyak yang sebenarnya tidak menyadari pentingnya penghematan, tetapi kesulitan untuk konsisten. Sebagian besar justru memilih bentuk “tabungan” lain, seperti investasi di aset digital atau saham meski sering kali tanpa pengetahuan yang cukup. Kondisi ini membuat pemerintah dan lembaga keuangan semakin gencar mengkampanyekan literasi keuangan. OJK bersama Bank Indonesia misalnya, rutin mengadakan program edukasi keuangan di kampus-kampus dan sekolah. Tujuannya jelas, yaitu untuk membiasakan anak muda menyeimbangkan antara gaya hidup sosial seperti nongkrong dengan kebiasaan menabung yang sehat.
Anak muda, pada umumnya, tidak perlu berpikir lebih jauuh untuk memilih antara nongkrong atau menabung. Jika keduanya bisa jalan bersama asal ada pengaturan.. Membuat anggaran sederhana, misalnya, akan mengalokasikan 50% untuk kebutuhan pribadi, 30% untuk pengeluaran hiburan (termasuk nongkrong), dan 20% untuk investasi atau tabungan. Dengan demikian, nongkrong tetap bisa jadi jalan, namun tabungan bisa jadi aman.
Pada akhirnya, fenomena yang dikenal sebagai “nabung susah, nongkrong gampang” mengacu pada kesulitan yang dialami anak-anak dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan modern. Bukan berarti nongkrong tidak boleh dilakukan, melainkan ia harus dikendalikan. Dengan literasi keuangan yang baik, masyarakat Indonesia dapat hidup sejahtera tanpa perlu khawatir tentang masa depan keuangan mereka. Selain itu, nongkrong memang penting, tetapi menabung bahkan lebih penting.[]