INILAH KITA | Kondisi yang menantang yang saat ini dihadapi oleh industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap sektor otomotif. Penurunan penjualan yang terus berlanjut menimbulkan kekhawatiran bahwa hal ini dapat memicu terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Apa yang menyebabkan fenomena ini?
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) melaporkan bahwa penjualan mobil di level nasional pada bulan Agustus 2024 mencapai 76.304 unit, mengalami peningkatan sebesar 2.075 unit atau 2,79% dibandingkan dengan bulan Juli 2024 yang tercatat sebanyak 74.229 unit.
Namun, secara tahunan, penjualan pada bulan Agustus 2024 menunjukkan penurunan sebanyak 12.624 unit dibandingkan Agustus 2023, atau mengalami penurunan sebesar 14,19%.
Pada saat yang sama, data menunjukkan bahwa impor mobil ke Indonesia pada bulan Agustus 2024 juga mengalami penurunan jika dibandingkan bulan sebelumnya, meski secara tahunan justru mengalami kenaikan. Impor mobil yang tercatat mencapai 7.971 unit pada Agustus 2024, turun dari 10.334 unit pada Juli 2024, sementara pada tahun lalu di periode yang sama impornya mencapai 7.302 unit. Data tersebut berkaitan dengan jenis impor mobil dalam kondisi terangkai utuh (CBU).
Di sisi lain, ekspor mobil CBU pada bulan Agustus 2024 mengalami penurunan, tercatat sebanyak 39.801 unit dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 40.431 unit. Bandingkan dengan Agustus 2023, di mana ekspor CBU tercatat mencapai 46.468 unit.
Selanjutnya, untuk ekspor mobil CKD (terurai lengkap), pada bulan Agustus 2024 juga mengalami penurunan menjadi 4.268 unit dari 5.796 unit di Juli 2024, serta menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya yang tercatat 4.834 unit CKD di Agustus 2023.
Tidak ketinggalan, ekspor komponen otomotif turut mengalami penurunan di Agustus 2024, yakni mencapai 16,69 juta pieces, dibandingkan dengan 17,58 juta pieces pada Juli 2024. Capaian ini juga meleset jauh dari ekspor komponen di Agustus 2023 yang mencapai 26,23 juta pieces.
Dengan demikian, kondisi di industri tekstil tidak hanya berdampak di dalam sektor itu sendiri, tetapi juga berpeluang besar untuk menular kepada sektor otomotif, memicu perubahan yang lebih luas dalam perekonomian.
Daya Beli Masih Terus Lesu
Pengamat Otomotif Yannes Martinus Pasaribu menilai, kinerja otomotif nasional yang saat ini sedang lesu, mencerminkan pelemahan daya beli. Yang tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara tujuan ekspor.
“Penurunan ekspor dan impor mobil di Indonesia sepanjang Januari-Agustus 2024, baik secara tahunan maupun bulanan di Agustus 2024, menjadi cerminan tantangan yang dihadapi industri otomotif. Perlambatan ekonomi global menjadi salah satu faktor utama. Menyebabkan permintaan mobil di berbagai negara, termasuk tujuan ekspor Indonesia, menurun. Dimulai dari melemahnya daya beli negara-negara barat,” kata Yannes kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (18/9/2024).
“Selain itu, masih terjadinya gangguan rantai pasok global juga mengganggu produksi dan pengiriman komponen produk otomotif yang diimpor. Bahkan berpotensi meningkatkan biaya produksi yang pada akhirnya memengaruhi harga jual,” tambahnya.
Di pasar domestik, lanjut dia, data beli warga RI juga belum pulih sepenuhnya akibat inflasi dan suku bunga yang menekan permintaan dan produksi mobil di dalam negeri. Hambatan lain, kata dia, dampak kebijakan perdagangan internasional. Seperti tarif impor dan hambatan nontarif, yang juga dapat menjadi faktor yang memengaruhi kinerja ekspor mobil RI.
“Penurunan daya beli middle income class Indonesia selama tahun-tahun di era Covid-19 hingga kini juga merupakan fenomena yang kompleks dan mengkhawatirkan. Salah satu penyebab utamanya adalah inflasi yang tinggi, terutama pada harga bahan pangan dan energi. Kenaikan harga-harga ini menggerus pendapatan riil masyarakat, sehingga mereka memiliki lebih sedikit uang untuk dibelanjakan pada barang-barang tersier berharga mahal, seperti mobil,” jelasnya.
“Ketika ekonomi melambat, kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat juga cenderung menurun. Ketidakpastian ekonomi juga membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya, memilih untuk menabung atau berinvestasi daripada membeli barang-barang konsumtif,” terang Yannes.
Ancaman Gelombang PHK di Industri Otomotif
Karena itu, Yannes memprediksi, bukan tak mungkin kondisi di industri TPT nasional bakal menular ke sektor otomotif. Di mana, industri TPT saat ini sedang mengalami tekanan akibat efek domino perlambatan ekonomi di pasar ekspor, gempuran impor ilegal dan legal, yang memicu gelombang PHK berkelanjutan.
“Jika penurunan daya beli middle income class kita terus berlanjut dan tidak ada langkah-langkah strategis yang diambil untuk mengatasi tantangan tersebut, industri otomotif Indonesia berpotensi mengalami kondisi serupa dengan industri tekstil. Karena, industri otomotif sangat bergantung pada permintaan domestik,” kata Yannes.
“Pabrik mobil dalam negeri juga menghadapi persaingan ketat dari produk impor khususnya EV (electric vehicle/ kendaraan listrik) yang tampaknya semakin murah. Jika daya beli masyarakat menurun, mereka cenderung mencari produk yang lebih terjangkau, termasuk mobil impor,” sebutnya.
Di sisi lain, kata dia, pabrik mobil di dalam negeri juga memiliki banyak industri penyuplai komponen dalam negeri, yang sebagian besar adalah perusahaan modal asing. Dan, imbuh dia, pabrik-pabrik itu merupakan sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.
“Penurunan produksi akibat lesunya permintaan dapat menyebabkan PHK besar-besaran dan peningkatan pengangguran,” kata Yannes.
“Yang mengerikan adalah situasi penurunan daya beli middle income class yang berkepanjangan ini akan memiliki dampak yang luas pada perekonomian nasional secara keseluruhan. Jika daya beli kelas menengah terus menurun, pertumbuhan ekonomi nasional juga akan terhambat. Ujungnya, penurunan daya beli yang berkepanjangan ini juga dapat memicu peningkatan kesenjangan sosial, deindustrialisasi dini dan seterusnya,” pungkas Yannes. []