INILAH KITA | Sejarah Islam di Kota Semarang tak bisa dipisahkan dari keberadaan Masjid Agung Semarang (MAS) atau Masjid Besar Semarang (MBS), atau juga biasa disebut dengan Masjid Kauman oleh masyarakat Kota Semarang.
Masjid yang berada di tengah keramaian aktivitas Pasar Induk Johar dan Pasar Yaik, Semarang, ini memiliki kaitan erat dengan berdirinya Pemerintah Kabupaten Semarang–sekarang Kota Semarang. Masjid ini juga memiliki banyak catatan sejarah sebagai pusat penyebaran tauhid.
Berdasarkan sejumlah catatan-catatan, Masjid Kauman didirikan pertama kali pada pertengahan abad XVI Masehi (1575 M) atau jauh sebelum masa penjajahan di bumi nusantara ini. Namun, masjid ini diakui justru lebih tua dari Kota Semarang. Pasalnya, cikal bakal terbentuknya Kota Semarang justru berawal dari masjid tersebut.
Dalam catatan sejarah Yayasan MAS atau MBS, masjid ini didirikan oleh Sunan Pandan Arang atau dikenal juga dengan sebutan Ki Ageng Pandan Arang. Bagi warga Semarang, mereka menyebutnya dengan nama Pandanaran. Ulama ini merupakan seorang maulana dari negara Arab yang bernama asli Maulana Ibnu Abdul Salam.
Oleh Sunan Kalijaga–lewat Sultan Hadiwijoyo (Pajang)–Sunan Pandan Arang ditunjuk untuk menggantikan kedudukan Syekh Siti Jenar. Sunan Pandan Arang ditugaskan untuk menyampaikan syiar Islam di daerah sebelah barat Kasultanan Bintoro Demak. Belakangan, daerah ini dikenal dengan nama ‘Semarang’ yang berasal dari kata asem arang atau pohon asam yang tumbuhnya jarang.
Saat mengawali dakwah dan syiar Islam di tlatah (wilayah) baru ini, Sunan Pandan Arang mendirikan sebuah padepokan untuk pusat kegiatan dakwah Islam di kawasan bukit Mugas.
”Padepokan inilah yang kelak menjadi cikal bakal MAS,” ungkap Muhaimin, salah seorang pengurus Bidang Dakwah dan Peribadatan Yayasan MAS, seperti dilansir Republika.
Dalam penyebaran Islam, Sunan Pandan Arang atau Pandanaran mendirikan padepokan (stechter) Kota Semarang yang dimulai dari perkampungan Bubakan Semarang. Karena pengaruhnya, ia pun diangkat sebagai bupati Semarang I.
Saat itu pula, pusat kegiatan syiar yang ada di Mugas dipindahkan ke Bubakan dengan mendirikan masjid yang pada perkembangannya berdekatan dengan kekuasaan VOC.
Namun, pada masa pendudukan kolonial Belanda, pecahlah pemberontakan etnis Cina terhadap Pemerintah Kolonial Belanda di Semarang. ”Masjid ini pun ikut terbakar habis,” jelas Muhaimin.
Kemudian, pada era pemerintahan bupati Raden Mas Tumenggung Mertoyudo yang bergelar Kiai Tumenggung Adipati Surohadi Menggolo ke-II (1743- 1751), sebuah masjid dibangun di sebelah barat Bubakan, tepatnya di alun-alun Semarang sekarang ini.
Berdasarkan arsitekturnya, bangunan Masjid Kauman memiliki pengaruh kuat oleh Walisongo pada masa perkembangan Islam di Tanah Jawa. Masjid yang hampir serupa Masjid Agung Demak itu konon dibangun pada masa Kesultanan Demak. Ini ditandai dengan atap tajuk tumpeng (tingkat) tiga.
Atap tingkat tiga tersebut merupakan representasi dari makna filosofi dalam ajaran umat Muslim, yakni Iman, Islam, dan Ihsan. Atap Masjid Besar Kauman berbentuk limasan yang diberi hiasan mustaka. Kemudian, untuk menopang bangunan utama, masjid tersebut ditopang 36 soko (pilar) yang kokoh.
Secara keseluruhan, Masjid Kauman berarsitektur khas Persia dan Arab. Gaya itu dipadukan dengan pelbagai ornamen kayu yang elegan, seperti pada pintu utama hingga mimbar imam yang terbuat dari kayu jati dilengkapi ornamen ukir yang indah.
Di masjid ini menyimpan kisah yang heroik pada masa kemerdekaan bangsa Indonesia. Pasalnya Masjid Besar Kauman ini menjadi satu-satunya masjid di Indonesia yang mengumumkan kemerdekaan negeri ini secara terbuka beberapa saat setelah proklamasi dibacakan.
Menurut Sekretaris Pengurus Masjid Besar Kauman, Muhaimin, pengumuman itu dilakukan Dr Agus, salah seorang jemaah aktif masjid, sekitar satu jam setelah proklamasi dibacakan di Jakarta. “Dr Agus mengumumkannya di depan jemaah masjid secara terbuka, tanpa takut,” terangnya.
Nahas, keberanian Dr Agus harus dibayar mahal. Muhaimin mengatakan, Agus dikejar tantara Jepang hingga melarikan diri ke Jakarta dan meninggal di sana.
“Sebagai penghargaan atas perjuangan Dr Agus, Presiden Soekarno pernah menyempatkan berkunjung, ikut salat Jumat, serta berpidato untuk mengenang kisah bersejarah itu pada 1952,” kenangnya. []