INILAH KITA | Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia kian menggila, jumlahnya melonjak sepanjang tahun ini. Di beberapa provinsi, jumlah pekerja yang ter-PHK bahkan melonjak ribuan persen.
Data kementerian ketenagakerjaan (kemnaker) mencatat jumlah pekerja yang ter-PHK pada periode Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 orang. Angka tersebut naik 21,4% dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 26.400 orang.
Beberapa provinsi menyumbang kasus PHK terbesar. Di antaranya adalah Jakarta dan Bangka Belitung. Jumlah pekerja yang mengalami PHK pada Januari-Juni 2024 menembus 7.469 orang. Jumlah tersebut bertambah 6.786 orang atau 994% atau hampir 1.000% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Jumlah kasus PHK di Bangka Belitung juga melonjak 3.918% atau hampir 4.000% pada Januari-Juni 2024. Kasus PHk mencapai 1.527 orang per Juni 2024 padahal pada periode yang sama tahun lalu hanya 38 orang.
Peningkatan kasus PHK dalam jumlah signifikan juga dilaporkan Banten yakni 994 orang atau naik 19,33%. Jika dilihat dari jumlahnya, lima provinsi dengan kenaikan kasus PHK terbanyak adalah Jakarta (6.786 orang), Bangka Belitung ( 1.489 orang), Banten (994 orang), Riau ( 539 orang), dan Sumatera Utara (465 orang).
Jika dilihat dari prosentasenya, provinsi yang mencatat kenaikan terbesar adalah Bangka Belitung ( 3.918%), Aceh (1.745%), Jakarta (994%), Sumatera Utara (628%), dan Sulawesi Tenggara (210%).
Berikut 10 provinsi dengan jumlah kasus PHK tertinggi:
Jumlah kasus PHK di Sulawesi Tengah juga sangat tinggi yakni 1.812 orang. Namun, belum ada catatan kasus PHK pada Januari-Juni 2023 sehingga tidak bisa dibandingkan.
Lonjakan kasus PHK di Bangka Belitung tidak bisa dilepaskan dari korupsi PT Timah (Persero) Tbk Imbas dari kasus tersebut menyebabkan 1.329 karyawan di Bangka Belitung terkena PHK.
Kepala Bidang Pengawasan Hubungan Industri (HI) dan Jamsos Dinas Ketenagakerjaan (Disnker)Bangka Belitung Agus Afandi menyebut, ribuan karyawan tersebut berasal dari perusahaan mitra smelter yang disita oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Diketahui, Kejagung menyita lima smelter.
Ribuan karyawan tersebut berasal dari 16 perusahaan yang tersebar di tujuh kabupaten. Mereka menjadi mitra lima smelter Timah mulai dari pabrik sawit hingga sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
Selain smelter, industri tekstil juga menyumbang kasus PHK dalam jumlah besar. Kasus PHK di industri tekstil diperkirakan memakan korban ribuan pekerja .
Berikut Rincian PHK pabrik tekstil di Indonesia Periode Januari hingga awal Juni 2024.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengatakan sejak Januari hingga awal Juni 2024 ini, setidaknya terdapat 10 perusahaan yang telah melakukan PHK massal. Enam di antaranya karena penutupan pabrik, sedangkan empat sisanya karena efisiensi jumlah pegawai.
Total karyawan yang ter-PHK dari 10 perusahaan itu setidaknya ada 13.800an orang. Namun menurutnya jumlah ini mungkin lebih sedikit daripada kondisi di lapangan, mengingat tidak semua perusahaan mau terbuka atas langkah PHK massal ini.
PHK Banyak, Pekerja Beralih ke Non-Formal
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Februari 2024 sebesar 4,82% atau turun 0,63% dibandingkan Februari 2023. Pengangguran yang turun di tengah banyaknya PHK salah satunya disebabkan oleh penyerapan kerja di sektor informal.
Data BPS menunjukkan proporsi pekerja informal Indonesia saat ini tercatat 59,17%, melesat dibandingkan per Agustus 2019 yakni 55,88%.
Banyaknya pekerja informal menunjukkan banyaknya angkatan kerja yang tidak bisa diserap oleh lapangan kerja. Pekerja informal ini menjadi rentan karena mereka tidak memiliki besaran penghasilan yang pasti, banyak yang tidak dilindungi oleh asuransi, dan akan kesulitan mencari akses keuangan untuk modal ataupun mengajukan kredit lainnya.
Ekonom BCA Barra Kukuh Mamia menjelaskan turunnya pengangguran Indonesia saat ini banyak ditopang oleh lapangan kerja informal. Banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan di pabrik banting setir mencari pekerjaan menjadi supir taksi/ojek online atau di e-commerce.
“Mungkin sekarang ojol atau e-commerce segala macam ini which is fine orang bisa dapat duit di situ tapi prospek nya kan beda antara yang formal dan informal. Kalau formal bisa naik gaji, naik karir, tapi kalau informal gimana?” tutur Barra dilansir CNBC Indonesia.[]