Oleh: Nadeem
(Kolumnis, Pemerhati Isi Tudung Saji Meja Makan)
Entah usia sudah masuk 40 tahun, mendekati 50 tahun, menjelang 60 tahun, atau bahkan sudah menginjak 74 tahun seperti pak Presiden Prabowo Subianto yang hari ini berulang tahun, 17 Oktober 2025. Selamat ulang tahun ya Pak Presiden.
Tapi, percayalah! Orang-orang yang sudah memasuki usia segitu tetap merasa dirinya masih 20-an tahun: tak merasa bahwa masa muda dan remaja mereka sudah jauh ditinggalkan. Sudah puluhan tahun dilewati.
Cobalah tanyakan kepada mereka, jika tak percaya. Aku yakin, mereka akan bercerita panjang kali lebar tentang masa mudanya, dahulu. Sambil sesekali terkekeh. Cerita yang lebih banyak porsinya dibandingkan kalimat-kalimat bijak tentang masa ‘matang’, yang keluar dari mulutnya. Aku sendiri tak ingin menulis “tua”.
Seolah, baru kemarin lulus kuliah, lulus AKABRI, lulus sekolah SMA. Dahi mereka akan lebih banyak mengernyit saat bercerita. Mengingat kejadian-kejadian dan nama-nama kawan masa itu, satu per satu. Meski lebih banyak lupanya. Akan lebih banyak cerita tentang kelucuan dan kebandelan bersama teman-teman mereka, kala itu, dibandingkan dengan hal-hal akademik yang selalu menjadi tema paling membosankan saat ngobrol dan berbicara masa lalu.
Cerita dan obrolan yang ternyata lebih banyak didapatkan dari grup-grup whatsapp (WAG) alumni sekolah, alumni Taruna, alumni Tugas dan Dinas, yang diikuti. Sisa-sisa memori dari kawan seangkatan yang diingat. Entah itu seru, sedih, heroik, haru, maupun bahagia. Tapi yakin lah, banyak dari mereka yang menyangkal jika disebut tua. Lebih banyak menyebut “baru kemarin” dari pada ngomong “dahulu” atau “udah lama”.
Memori kenakalan masa remaja, cinta monyet, kemesuman masa muda dikenang dan diceritakan dengan seru dan bahagia. Seolah besok pagi masih berseragam sekolah dan masuk kelas, masih sibuk menyusun diktat kuliah, masih memakai seragam dinas. Serasa dirinya masih muda dan berbahaya.
Padahal, tubuh sudah tak setangguh dulu. Otot, kulit, lutut, semuanya mulai terasa kendor. Badan sudah tak se-singset dulu. Lipatan lemak yang jelas nampak bersamaan dengan kulit yang mulai mengeriput. Nafas gampang ‘ngos-ngosan dan ‘mengkis-mengkis’, terutama saat diajak beraktifitas agak berat, angkat-angkat barang, jalan agak cepat maupun lari, bahkan hanya untuk gendong bocah sekalipun.
Gampang pilek, bersin, dan pusing saat kena hujan. Dengkul dan tangan mulai sering tremor, gemeteran. Tubuh gampang capek, mulai akrab dengan aroma balsem, remason, pakpung oil, tempelan koyo, dan manggil tukang urut/pijat dari pada manggil kawan-kawan untuk gabung begadang nonton bola bareng. Bahkan, sebagian dari mereka warna rambutnya pun mulai nampak mengkilat berwarna keperakan.
Tapi, hey.. lihat saja di sekelilingmu, kanan-kiri mu, sekelilingmu, kawan-kawanmu yang seumuran, teman-teman WAG sesama alumni-mu atau dirimu sendiri, yang secara fisik jelas hidup di tahun 2025, masih merasa sebagai generasi muda penerus bangsa.
Padahal, bagi-mu, bagi kawan-kawan alumni-mu musik terbaikmu adalah musik di tahun 60 an, 70 an, 80 an, 90 an. Musik saat dirimu dan kawan-kawanmu itu masih remaja dan pemuda. Grup band yang kau gemari pun adalah mereka yang eksis saat usiamu belia.
Telingamu lebih akrab dengan lagu-lagu The Beatles, Bee Gees, Queen, Boney M, Mick Jagger dengan Rolling Stones-nya, Bon Jovi, GnR, Nirvana, Metallica, Oasis, New Kids On The Block, Tommy Page, bahkan Godbles, Iwan Fals, Gombloh, Rhoma Irama, Power Metal, Kla Project, Andy Liani, masuk dalam list-mu lagu tetap yang kau putar di dalam kendaraanmu. Jika kamu ditanya tentang Dua Lipa dan lagu-lagunya, dirimu pasti mengira bahwa lagu-lagunya adalah dangdut dan penyanyinya adalah Duo Biduan yang berasal dari Karawang atau Indramayu.
Belum lagi kalau ditanya: siapa perempuan tercantik dan laki-laki terganteng menurutmu? Dirimu pasti masih menganggap artis idolamu saat diri masih di usia 20 an. Dandanan terkeren menurutmu adalah dandanan yang menjadi tren pada masa sekolahmu, masa kuliahmu, masa kamu masih menikmati cinta monyet dan awal pacaran.
Seolah jiwamu, seleramu, citarasa-mu, passion-mu terjebak di sana.
Dan, dirimu menganggap masa kini hanyalah pohon yang buahnya telah habis dipanen. Atau, bahkan dirimu merasa menjadi buah, yang semakin matang, semakin enak dimakan. Kalimat bijak yang ‘seolah’ satu-satunya mengisi kepala –selalu ingat– kita adalah: umur hanyalah bilangan angka.
Tak apalah, berapapun usia kita, yang penting kita sehat. Baru saat ini, saat usia kita memasuki bilangan yang aku sebut di awal paragraf tulisan ini tadi menyadarkan kita: betapa pentingnya sehat itu.
Tulisan ini sebenarnya bukan untuk orang lain. Melainkan untuk mengingatkan diriku sendiri, yang kebetulan lahirnya di tanggal yang sama dengan pak Presiden Prabowo Subianto, meski tahunnya selisih 26 tahun. Sehat-sehat terus ya Pak Prabowo
Iya, di usia-usia seperti, seolah kita lebih bijak dalam melangkah, berdiskusi, berbicara, maupun mengambil keputusan. Mencoba sebisa mungkin menghindari perselisihan dan pertengkaran. Kita sudah mulai banyak mengalah dalam banyak hal, karena merasa hidup ini sudah ribet, buat apa ditambahi dengan konflik yang tak perlu.