INILAHKITA.COM | Sering kali kita mendengar istilah “cari muka” dengan konotasi negatif. Identik dengan menjilat, pencitraan palsu, atau usaha menarik perhatian demi keuntungan pribadi. Namun, benarkah “cari muka” selalu buruk?
Dalam realitasnya, budaya “cari muka” bisa muncul dari dua sisi, internal dan eksternal dalam kehidupan manusia. Dari sisi internal, seseorang mungkin berusaha menampilkan citra diri terbaik karena dorongan harga diri, nilai moral, atau keinginan untuk berkembang.
Dari sisi eksternal, lingkungan sosial menuntut kita untuk tampil sesuai harapan agar dapat diterima, dihargai, atau dipercaya.
Contoh sederhana, saat kita berpakaian rapi, bersih, dan wangi sebelum berangkat ke masjid. Apakah itu termasuk cari muka? Mungkin iya, tapi dalam arti yang positif.
Kita ingin tampil sopan di hadapan sesama, sekaligus mempersiapkan diri untuk hadir di hadapan Tuhan dengan penuh penghormatan. Kita pun berdoa dengan penuh harapan, memohon sesuatu yang penting bagi kehidupan kita.
Dalam hal ini, “cari muka” bukan soal manipulasi, tapi usaha menyelaraskan penampilan dan sikap dengan niat yang baik. Mereka menjadi cerminan kesadaran diri dan penghormatan terhadap orang lain maupun Tuhan.
Jadi, mungkin saatnya kita melihat “cari muka” dari sisi yang lebih luas. Karena kadang, usaha menampilkan yang terbaik adalah bagian dari adab, bukan sekadar pencitraan.
“Cari Muka” dalam Arti Positif, Strategi atau Cerminan Etika?
Sering kali, kita memandang istilah “cari muka” sebagai sesuatu yang negatif penuh kepalsuan, ambisi tersembunyi, dan sekedar pencitraan murahan.
Namun, tidak semua bentuk cari muka patut dicibir. Dalam banyak konteks, ia justru bisa menjadi refleksi dari kedisiplinan, etika, dan profesionalitas.
Bayangkan sebuah kegiatan penting yang mengharuskan kehadiran tepat waktu. Lalu Anda datang lebih awal bukan karena disuruh, tapi karena ingin menunjukkan bahwa Anda menghargai waktu, serius terhadap tanggung jawab, dan siap berkontribusi.
Apakah itu salah? Tentu tidak. Justru dari situ, orang mulai membangun persepsi Anda rajin, disiplin, dan bisa diandalkan. Nilai-nilai itu memberi Anda keunggulan nilai lebih yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain.
Dalam hal ini, “cari muka” bukan soal menjilat, tapi tentang menampilkan versi terbaik dari diri sendiri secara otentik, dengan didukung oleh kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan nyata. Ini bukan pencitraan kosong, melainkan cara strategis untuk menciptakan kesan positif yang sejalan dengan kompetensi.
Maka, daripada menghindari istilah “cari muka”, mungkin kita hanya perlu meluruskan niat dan cara. Jika dilakukan dengan tulus, profesional, dan konsisten, cari muka bisa menjadi langkah awal membangun reputasi dan kepercayaan yang berdampak besar di kemudian hari.
Hal yang perlu dihindari adalah sikap bermuka dua, yang merupakan bentuk kemunafikan dan sangat ditakuti oleh banyak orang. Terutama jika seseorang lebih mementingkan dirinya sendiri dan menunjukkan karakter seperti:
Pura-pura baik di depan, tetapi di belakang suka membicarakan hal negatif tentang orang lain.
Mengakui hasil kerja orang lain sebagai miliknya.
Melaporkan bahwa rekan kerjanya tidak kompeten (tidak bisa kerja) atau hasil kerjanya biasa-biasa saja.
Iseng mengabarkan bahwa rekannya kurang disiplin, tidak bertanggung jawab, atau belum menunjukkan loyalitas.
Intinya, orang seperti ini cenderung melihat bahwa tidak ada satu pun orang lain yang benar, selain dirinya sendiri.
Kemungkinan besar, orang-orang dengan sikap seperti itu memang ada di sekitar kita. Sebenarnya, itu adalah hak mereka untuk bersikap seperti itu, dan hanya kita yang bisa menilai bagaimana menyikapinya.
Kita bisa tetap bersikap ramah, namun tidak perlu terlalu dekat atau menjalin keakraban yang berlebihan. Sebab, pada akhirnya kita sendiri yang bisa menjadi korban dari laporan-laporannya.
Terkadang, semua orang di lingkungan kerja pun sudah tahu jika ada rekan yang suka mencari muka. Namun, apa boleh buat, karena memang kebiasaan dan cara kerjanya seperti itu.
Mungkin ada pribahasa yang cocok untuk menggambarkan hal ini “senang melihat orang lain susah, dan susah melihat orang lain senang”. Demi terlihat sebagai yang terbaik, segala cara pun bisa ditempuh.
Kesimpulannya, sebagian besar orang menilai bahwa sikap mencari muka itu 100% bersifat negatif. Namun sebenarnya, hal tersebut tidak selalu buruk semuanya tergantung pada niat hati dan tujuan kita.
Sebagai contoh, melaporkan dan menunjukkan hasil kerja yang memang benar-benar merupakan hasil usaha sendiri adalah hal yang positif.
Itu jauh lebih baik dibandingkan dengan mencari-cari kesalahan orang lain lalu melaporkannya demi menjatuhkan mereka. Sikap seperti itulah yang justru mencerminkan ketidakprofesionalan dan merugikan suasana kerja.[]
Oleh: Noto Susanto, SE, MM (Dosen Universitas Pamulang)