By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Inilah KitaInilah KitaInilah Kita
  • Home
  • Sekitar Kita
  • DialeKita
  • Nusantara
  • Akademika
  • Komunitas
  • Generasi
  • Kiat Kita
Reading: Karena ‘Flourish’, Kita Jadi Juara Dunia!
Share
Notification Show More
Font ResizerAa
Inilah KitaInilah Kita
Font ResizerAa
  • Home
  • Sekitar Kita
  • DialeKita
  • Nusantara
  • Akademika
  • Komunitas
  • Generasi
  • Kiat Kita
Follow US
  • Advertise
© 2024 Inilah Kita
Inilah Kita > Blog > DialeKita > Karena ‘Flourish’, Kita Jadi Juara Dunia!
DialeKita

Karena ‘Flourish’, Kita Jadi Juara Dunia!

Kalau selama ini kita bangga dengan medali bulu tangkis atau juara lomba nasi tumpeng tingkat RT, sekarang saatnya kita menepuk dada dengan prestasi yang lebih halus tapi dalam

Redaksi Kita
Redaksi Kita Published 09/05/2025
Share
Karena 'Flourish', Kita Jadi Juara Dunia!
SHARE

INILAHKITA.COM | Kalau selama ini kita bangga dengan medali bulu tangkis atau juara lomba nasi tumpeng tingkat RT, sekarang saatnya kita menepuk dada dengan prestasi yang lebih halus tapi dalam: Indonesia termasuk negara dengan tingkat flourishing tertinggi di dunia.

Iya, kita! Bukan Norwegia, bukan Amerika, apalagi Swedia yang katanya negara makmur tempat surganya kesejahteraan. Jepang malah paling buncit. Ada 22 negara dengan 200 ribu responden yang dilibatkan dalam Global Flourishing Survey yang diadakan Harvard’s Human Flourishing Program. Ini mewakili 64% populasi dunia.

Lho, kok bisa? Meski bukan negara kaya, Indonesia dinilai unggul berkat tingginya kualitas hubungan sosial, nilai-nilai kebersamaan, dan keterlibatan masyarakat. Karakter prososial seperti gotong royong dan ikatan komunitas yang kuat menjadi faktor pembeda dibanding negara-negara maju.

Berbeda dengan ukuran kebahagiaan konvensional, konsep flourishing dalam studi itu didefinisikan sebagai keadaan di mana seluruh aspek kehidupan seseorang berjalan dengan baik. Konsep itu mencakup tidak hanya kesehatan mental dan fisik, tetapi juga makna dan tujuan hidup, karakter dan kebajikan, hubungan sosial yang erat, serta stabilitas ekonomi dan material.

Jadi, flourish itu bukan nama produk ya, bukan juga varian baru mi instan. Ini istilah akademis yang dipakai untuk menggambarkan hidup yang tumbuh kembang, merekah, bersinar, utuh, bahagia, sehat, penuh makna, punya relasi sosial yang hangat, stabil secara finansial, dan bermoral baik.

Secara teori, ini hidup ideal yang dibayangkan motivator-motivator sukses. Tapi secara data, justru itu banyak ditemukan di negara-negara seperti Indonesia, Meksiko, dan Filipina. Negara-negara yang katanya miskin, tapi hidupnya “kayak orang kaya beneran” — dalam hal relasi, makna, dan kebajikan.

Sementara negara-negara tajir semacam Amerika dan Swedia malah kedodoran di aspek-aspek non-materi. Maklum, di sana mungkin gaji besar, tapi ngobrol sama tetangga aja kudu bikin janji tiga hari sebelumnya.

Kalau kita jujur, banyak nilai budaya Indonesia yang, tanpa disadari, sangat mendukung kehidupan yang flourish. Misalnya, gotong royong. Bahkan pindah rumah aja bisa dikeroyok ramai-ramai. Rasa kebersamaan ini bikin relasi sosial kita kuat, rasa percaya tinggi, dan kesepian lebih jarang.

Juga, budaya ngumpul bareng keluarga. Bukan cuma pas Lebaran. Hampir tiap minggu ada arisan, tahlilan, atau syukuran. Coba catatan, berapa jenis hajatan yang pernah Anda ikuti di lingkungan Anda. Ini menjaga hubungan sosial dan memperkuat makna hidup.

Anda tahu, kita bangsa yang memiliki kepatuhan tinggi terhadap nilai-nilai moral. Banyak anggota masyarakat yang masih menjunjung tinggi adab, sopan santun, dan rasa hormat terhadap orang tua. Ini masuk ke dimensi “karakter dan kebajikan” yang bikin skor kita tinggi.

Begitu pula, tradisi spiritual keagamaan sangat menentukan dalam flourishing. Dari tadarusan, ziarah, pengajian, selametan, dibaan, sampai sedekah bumi —semuanya mengikat individu dengan makna hidup, keagamaan, spiritualitas, dan komunitas. Orang Indonesia bisa miskin harta, tapi kaya makna.

Data dari Global Flourishing Study menunjukkan bahwa orang yang rutin hadir dalam kegiatan keagamaan lebih tinggi skor flourish-nya. Di Indonesia? Wah, cocok banget! Shalat berjamaah, pengajian mingguan, misa, kebaktian, perayaan keagamaan lintas agama—semuanya memperkuat iman.

Bahkan, itu juga menciptakan rasa aman, kebersamaan, pengharapan, dan tujuan hidup. Psikolog menyebut kondisi in8 dengan “empat B”: belonging, bonding, behaving, believing. Di sinilah agama tak hanya berfungsi sebagai keyakinan spiritual, tapi juga struktur sosial yang menyelamatkan mental dan moral.

Fakta bahwa Indonesia bisa bersaing di posisi atas dalam indeks ini seharusnya membuat kita tidak minder terhadap narasi “negara maju”. Ya memang kita belum punya kereta super cepat atau kampus top dunia. Tapi, kita punya tetangga yang bisa diajak ngopi tanpa appointment, keluarga yang peduli, dan kehidupan religius yang tak cuma formalitas, tapi jadi perekat sosial.

Flourishing tentu bukan berarti hidup tanpa masalah. Tapi hidup dengan makna, relasi, kesehatan, dan harapan. Dan Indonesia? Kita sudah punya itu semua —dalam bentuk yang sering kita anggap remeh: guyub, syukur, dan rasa cukup.

Prestasi ini bukan alasan untuk berhenti. Justru jadi momen reflektif: bagaimana mempertahankan budaya yang memperkuat flourishing, sambil tetap membenahi sisi yang belum kokoh —seperti kesehatan mental anak muda, pendidikan karakter, dan akses ke pekerjaan layak.

Kalau mau Indonesia tetap juara dunia flourish, jangan cuma bangun jalan tol, tapi juga bangun jalan ke hati sesama. Jangan cuma reformasi birokrasi, tapi juga reformasi budaya syukur.

Karena di zaman di mana orang kaya bisa stres karena tak ada yang mau diajak makan bareng, kita justru bisa tertawa dengan nasi dan tempe, asal maknanya ada.

Maka mari kita hidup seperti pepatah lama: urip iku urup —hidup itu menyala, bukan hanya nyala listrik PLN, tapi nyala cinta, makna, dan kebajikan.

Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 9/5/2025

TAGGED:flourishinilah kitajuara duni
Share This Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp LinkedIn Telegram Email
What do you think?
Love0
Sad0
Happy0
Sleepy0
Angry0
Dead0
Wink0
Previous Article noto susanto Risiko Pintu Menuju Kesuksesan?

Latest News

noto susanto
Risiko Pintu Menuju Kesuksesan?
DialeKita
sekolah gratis
Akhirnya, Sekolah Gratis Sepenuhnya
DialeKita
qurban izi
Bukan Qurban Biasa: IZI Hadirkan Olahan Siap Saji untuk Negeri dan Dunia
Komunitas
Matahari Kembar
DialeKita
izi jakarta
LAZNAS IZI Resmikan Kaidah Kepatuhan Syariah Revisi 03: Standar Baru Tata Kelola Dana Umat
Komunitas
Peran Baru Jurnalis, Melatih AI Menulis Berita
Peran Baru Jurnalis, Melatih AI Menulis Berita
DialeKita
Baterai Nuklir Lipat, Energi Menjanjikan Masa Depan
DialeKita

Baca Artikel Lain

DialeKita

Suami Takut Istri, Kok Bisa?

11/04/2025
DialeKita

Lebaran Manis

02/04/2025
DialeKita

Selamat Mudik, Selamat Berlebaran Bersama Keluarga

29/03/2025
DialeKita

Kritik Atas Pidato “Omon-Omon” Prabowo

11/02/2025
Previous Next

Ikon Logo Inilah Kita

Kategori

  • Akademika
  • DialeKita
  • Generasi
  • Kesehatan
  • Kiat Kita
  • Komunitas
  • Nusantara
  • Sekitar Kita
  • Uncategorized

Inilah Kita

  • About
  • Kontak
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Media
  • Term & Condition
Inilah KitaInilah Kita
©2024 Inilah Kita
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?