Oleh: Yons Achmad
Jubir istana, bukanya memperjelas kasus, mendinginkan suasana, malah ikut blunder dan buat kontroversi lagi. Pada sebuah acara stasiun televisi swasta, Adita Irawati, Juru bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) diundang sebagai narasumber. Ia merespons soal kasus Utusan Khusus Presiden Miftah Maulana yang mengolok-olok dan menggoblok-goblokan penjual es teh.
“Kami dari pihak Istana tentu menyesalkan kejadian ini. Suatu hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi apalagi kalau kita lihat presiden kita Pak Prabowo Subianto ini kalau dilihat dari berbagai, baik itu melalui pidato ataupun kemudian kunjungan-kunjungan beliau ke lapangan, kunjungan kerja itu terlihat sekali keberpihakan beliau kepada rakyat kecil, kepada rakyat jelata,” kata Adita.
Sontak, komentar Adita itu pun mendapat sorotan dari publik. Banyak kritik bermunculan di media sosial. Khususnya terkait penggunaan diksi ‘rakyat jelata’.
Adita, melalui Instagram resmi Kantor Komunikasi Kepresidenan RI @pco.ri, lantas buru-buru memberikan klarifikasi. Ia meminta maaf terkait pernyataannya.
“Saya memahami, diksi yang saya gunakan dianggap kurang tepat. Untuk itu, secara pribadi saya memohon maaf atas kejadian ini yang sebabkan kontroversi terhadap masyarakat,” ujar Adita.
Kejadian ini, terang Adita, sama sekali tidak disengaja. Ia menggunakan diksi ‘rakyat jelata’ sesuai dengan arti dan makna yang tercantum di dalam KBBI, yang mana artinya adalah rakyat biasa.
“Yaitu kita semua rakyat Indonesia,” imbuh Adita.
“Sekali lagi, tidak ada maksud untuk melemahkan atau merendahkan, kami akan terus introspeksi diri dan akan lebih hati-hati dalam menggunakan bahasa dan khususnya diksi saat kami melaksanakan tugas untuk komunikasikan kebijakan strategis dan program prioritas,” tuturnya.
Lagi-lagi, klarifikasi itu juga problematis. Kenapa? Klarifikasi yang seharusnya bisa dipakai untuk mengungkap kebenaran, ternyata malah dipakai sebagai ajang pembenaran. Bukan saja pada misalnya tema kebijakan, tapi justru sibuk memoles instansi maupun personal jubir istana sendiri. Dia lupa bahwa posisinya “Pejabat”, bukan “Rakyat Biasa”, penggunaan diksi “Rakyat Jelata” walaupun dia berlindung dibalik arti KBBI, tetap saja, kurang pas dan kurang empatik dalam pengunaannya, tetap cenderung merendahkan.
Saya kira, kejadian-kejadian konyol demikian, bukan semata-mata cara berkomunikasi yang bisa dperbaiki dengan misalnya “Tips-Tips Bicara di depan publik”. Tapi, memang berangkat dari cara berpikir orang tersebut. Jadi, kritik saya, bukan sekadar pada bagaimana cara berkomunikasi, tapi memang lebih kepada bagaimana cara pikir, cara pandang pejabat publik kita, termasuk belajar bagaimana memahami suasana kebatinan masyarakat (yang banyak masih hidup susah).
Tanpa semua ini, maka blunder-blunder komunikasi kebijakan, bakal terus terjadi. Sejarah (politik) kita sejak penjajahan, Orde Lama, Orde Baru sampai era Reformasi memang penuh dengan realitas tidak manusiawi (inhuman realities) semacam ini. Manusia, juga hidup dalam berbagai sistem ketidakmanusiaan (inhuman system).
Maka, sudah selayaknya lagi, menghadirkan kembali apa yang disebut Yasraf Amir Piliang dalam buku “Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial” sebagai Rehumanisasi manusia Indonesia. Dan ini, tampaknya merupakan tugas penting negara yang harus diagendakan dalam rangka menciptakan masyarakat Indonesia masa depan yang lebih humanis.
Rehumanisasi ini, menempatkan manusia dalam ruang kemanusiannya yang utuh bukan semata sebagai alat (yang dieksploitasi tenaganya), organ (yang dimanfaatkan nilai gunanya) atau obyek (yang dijadikan komoditas ekonomi dan politik). Manusia harus dihargai kembali perasaan, hasrat, martabat, cita-cita (ideal), aspirasi, diri (self) dan kebebasannya. Ini tugas istana sebenarnya, bukan malah sibuk klarifikasi sana-sini. []
*Penulis adalah Pengamat Komunikasi. Pendiri Brandstory.ID