InilahKita.com | Jakarta — Kondisi ekonomi dalam negeri yang selama 10 tahun terakhir ini mengalami kontraksi negatif, dan terjadinya penurunan daya beli yang signifikan saat ini, tentu mengganggu industri dan pelaku usaha untuk mempertahankan bisnisnya. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus terjadi dan ancaman pemutusan kontrak kerja terhadap karyawan atau pekerja, baik di sektor formal maupun informal, pun menghantui kondisi negeri ini, saat ini.
Survei Gallup 2024 mencatat, sekitar 52 persen pekerja Indonesia sedang aktif mencari pekerjaan baru. Sementara Laporan Jobstreet by SEEK juga menunjukkan peningkatan aktivitas pencarian kerja sebesar 5,3 persen sepanjang 2024 dibanding tahun sebelumnya.
Kondisi yang pelik ini tidak hanya dialami oleh para pekerja, atau lulusan baru (fresh graduate) yang ingin mencari atau mendapatkan pekerjaan, juga dihadapi oleh perusahaan maupun industri dalam rangka rekrutmen karyawan. Meski, tentu saja, kondisinya jauh lebih sulit yang dihadapi oleh para pencari kerja, baik korban PHK maupun lulusan baru, baik sekolah maupun sarjana. Jumlah (lowongan) pekerjaan yang disediakan jauh tak sebanding jumlah pelamar pekerjaan.
Studi dari Society for Human Resource Management (SHRM) menyebut, kesalahan dalam rekrutmen akan berdampak besar bagi perusahaan. Lembaga itu memperkirakan, biaya mengganti satu karyawan bisa mencapai 6–9 bulan gaji. Belum termasuk kerugian produktivitas, beban tim, dan kerusakan budaya kerja yang bisa ditimbulkan oleh orang yang salah di posisi penting.
Selain itu, dengan jumlah pelamar yang banyak, tentu akan memakan waktu yang dalam proses seleksi, termasuk melakukan tes kepada para calon karyawan.
Salah satu solusi yang digunakan oleh perusahaan untuk memangkas dan menghemat waktu dalam rangka rekrutmen karyawan adalah dengan melakukan seleksi dan tes secara daring (online).
Direktur Human Care Consulting (HCC), Kartika Amelia mengatakan, proses rekrutmen karyawan yang dilakukan secara online dengan tidak cermat, tergesa-gesa ternyata dapat berdampak pada proses rekrutmen yang kurang terpantau dan berujung salah rekrut.
“Proses rekrutmen yang tergesa-gesa sering membuat perusahaan kecolongan, terutama jika dilakukan prosesnya secara online. Masih ada kasus-kasus dimana kandidat pencari kerja mencoba-coba mencari joki atau dibantu dalam mengerjakan tes online.,” ujar Kartika Amelia, di Jakarta, Selasa (29/4/25).
Sebagai solusinya, Kartika Amelia menyebut, HCC menawarkan sistem pengawasan tes online berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang disebut “AI Based Proctoring”, sebuah metode pengawasan otomatis berbasis AI yang bertujuan memastikan peserta tidak melakukan kecurangan.
Proctoring sendiri, merupakan metode pengawasan ujian atau tes yang bertujuan memastikan peserta tidak melakukan kecurangan. Metode ini dapat dilakukan secara manual oleh pengawas (Human Proctoring), baik secara tatap muka maupun melalui platform seperti Zoom, namun berpotensi memakan biaya dan waktu, serta rentan terhadap human error.
Alternatifnya, sambung Kartika, adalah system based proctoring, yang menggunakan pemantauan layar dan sistem otomatis untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan.
Kartika mengklaim, AI Based Proctoring bisa mengenali wajah, gerakan, atau tindakan tidak wajar, seperti membuka perangkat lain atau kehadiran orang lain di depan kamera, tanpa memerlukan intervensi manusia.
Teknologi ini, lanjutnya, memantau peserta selama tes berlangsung dan mampu mendeteksi indikasi kecurangan secara real time termasuk jika peserta dibantu pihak lain, membuka jendela lain di layar, atau melakukan kontak luar layar.
Selain mendeteksi kecurangan, sistem ini juga mengedukasi kandidat akan pentingnya kejujuran sejak proses seleksi.
“Bukan hanya hasil tes, proses kandidat mengikuti tes pun menjadi hal penting yang perlu menjadi perhatian. Jika dari awal kandidat atau peserta tes sudah mencoba melakukan kecurangan, integritas dan kredibilitasnya pun perlu dipertanyakan,” tutur Kartika.
Sebagai perusahaan penyedia layanan psikotes online dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), HCC mengandalkan teknologi ini dalam menjaga kualitas dan integritas proses seleksi digital yang sangat menentukan keberhasilan proses rekrutmen.
Kartika menyampaikan, berkaca dari laporan Harvard Business Review (2023) yang menyebutkan bahwa 30-50 persen karyawan baru gagal bertahan lebih dari 18 bulan, yang sudah terlihat dalam 3-6 bulan pertama. Kegagalan itu disebabkan oleh proses rekrutmen yang terburu-buru dan kurangnya penilaian mendalam terhadap karakter serta kompetensi teknis kandidat.
Juga, riset LinkedIn Workforce Confidence (2024) yang mengungkap bahwa Perusahaan dengan proses seleksi yang ketat dan terkontrol mengalami 50 persen lebih sedikit turnover pada karyawan baru. Karena, karyawan yang melalui proses seleksi yang tepat cenderung lebih siap menghadapi tantangan di bulan-bulan awal masa kerja.
“Bagi kami, assessment bukan sekadar hasil akhir, tapi proses pembentukan budaya integritas sejak hari pertama,” pungkas Kartika.